If you wanna happy, doing what you like.
If you feeling sad, solving the problem and try to crying after that. But how
if you feeling so sad but that gonna make other people happy? Or doing
something you don’t like but that will make other people happy? Terkadang apa
yang senang ku lakuan, malah membuat mereka sedih. Bukan sedih sih, marah
tentunya. Kalo sedih aku rasa tidak. Dan terkadang sesuatu yang sangat tak
kusuka, malah buat mereka senang dan bahagia. Padahal mereka tak tahu kalau aku
tak suka. Tapi aku berpura-pura senang saja agar mereka senang bahkan puas.
Sejak
aku SD dulu, semua aku lakukan sendiri, bahkan belajar aja nggak ada tuh yang
nungguin atau sekedar cari tau “lu bisa nggak?” ato “lu ngerti kagak?”.
Kesekolah sendiri, karna jarak tempuh sekolah dengan rumah lumayan deket, dan
waktu SD hidup aku pas-pasan bahkan bisa saja kurang. Terkadang aku iri kalo
liat temen-temen SD pake hape bagus. But, nyadar diri aja gue siapa, apa
kerjaan ortu aku. Aku bukan anak adopsi, ato anak nemu dijalanan ato anak nemu
di depan rumah kaya di sineteron tv bukan juga ketuker dengan anak orang lain.
Anak kandung. Anak pertama dari 4 bersaudara. Tapi bukan satu-satunya anak
perempuan dirumah, tapi aku paling disayang. Bukan disayang ortu aku. Melainkan
kakek, nenek, tante, dan kakak sepupu aku. Punya adek yang jarak lahirnya ga
jauh, menurut kalian bakal jadi penghalang buat kasih sayang kedua orang tua.
Tapi memang bener, aku dari dulu seelalu ngalah dengan adek pertamaku. Seperti
yang diceritakan ibuku. Sejak umur 7 bulan aku sudah nggak minum ASI lagi,
makanya aku nggak terlalu deket dengan ibuku itu. Sama nasibnya dengan adek
keduaku yang juga Cuma 3 bulan, jadi Cuma aku yang tahu yang dia rasakan, karna
sifatnya sama sepertiku. So, no one can
hear me and my 2nd sister in this house. Berusaha untuk berjuang
sendiri. Jika suatu saat aku berhasil survive dari semua ini, bisa saja aku
melupakan mereka. Aku bukan peramal, nggak bisa aku mendahului rencana Allah.
“cepet sarapan, sudah jam 6” that’s my mom. Best mother
than another. Karna gue Cuma punya satu ibu. Kalo punya lebih dari itu bisa aku
pertimbangkan.
“iya” kenalin aku jeni aulia devi. Biasa dipanggail
jen.
“mana sarapanku buuk” yang teriak itu kaila, adik
pertamaku. Gina kaila devi.
“ini lohh anakkku..” ibu sudah sangat memanjakannya,
bahkan tak ada yang bisa menandingi.
“buk, nanti aku sekolah diantar siapa?” dia adik
keduaku. Bunga kanya devi.
“sama bapak dek” sahut ibuku
By the way, kami masih SD. Aku kelas 6, kaila kelas
5, dan bunga kelas 2. Sekolah kami sama. Bukan sekolah negeri. Bukan juga
sekolah swasta biasa. Meskipun kami bukan anak berada. Sekolah kami sekolah
swasta yang bisa dibilang sekolah terpandang di masa kami saat itu. Sekolah
yang mengedepankan unsur keagamaan.
“ayo kak” teriak kaila
“iya sebentar” aku masih memasangkan sepatu bunga
dan membawakan tasnya
“kakak lama”
“kamu kalo nggak sabar berangkat duluan saja,
berisik” aku menyentaknya tanpa memalingkan wajahku kearahnya. Aku sedikit
gusar, karna aku tahu kaila memang tak seberapa suka dengan bunga.
“apa-apan, kamu itu kak. Jangan begitu sama
kaila” that’s my father. Selalu saja menyalahkanku atas semua kejadian dirumah
walopun aku tak bersalah.
“aku sedang memakaikan sepatu bunga. Kaila sudah
bisa berangkat sendiri kan? Biarkan dia berangkat duluan kalo nggak mau
nungguin aku sama bunga”
“jangan gitu sama adek kamu” ucapnya sedikit
membentakku.
Aku berdiri setelah memakaikan sepatu bunga dan
menggandengnya.
“jangan begitu? Lalu yang memakaikan bunga sepatu
siapa kalo bukan aku? Mana mungkin kaila mau! Ibuk sibuk didapur. Bapak juga
mau ke kantor. Kalo bunga nggak ada yang nyiapin ya jangan sekolahin bunga!”
aku tak bisa menangis di depan bapakku. Aku menggandenga tangan bunga
mengajakknay kesekolah. Tanpa menyalami tangan bapak ato ibukku. Aku pergi
begitu saja meninggalkan mereka. Langkahku terhenti didepan kaila.
“jika kamu masih banyak mengeluh, jangan berangkat
denganku. Jika kamu masih terus mengeluh soal bunga. Jangan panggil namaku” aku
pergi menggandeng bunga. Kaila menangis sejadinya, padahal aku tak
membentaknya. Tak ada yang membentaknya, apa lagi bunga. Bapakku memanggil
namaku dengan penuh amarah, namun aku tak menghiraukan. Aku tak peduli. Yang
penting aku dan bunga sekolah. Tak peduli bekal makan udah ada ditas ato belum.
Udah di kasih uang jajan ato belom, aku nggak peduli. Kalo mereka inget syukur,
kalo nggak ya puasa aja sampe ntar jam 3 sore.
“kakak..” bunga memanggil namaku
“apa deek”
“aku tadi udah bikin kakak repot ya?”
“hus, nggak boleh bilang gitu, seorang kakak harus
punya tanggung jawab, oke?”
“oke kak” kami berjalan lagi menuju sekolah kami.
Aku nggak peduli kaila mau sekolah apa enggak. Dasar manja.
Jika
kalian berfikir aku pintar karna ortuku, kalian salah. Semua yang kulakukan,
yang membuat ku cepat menghafalkan semua pelajaranku karna aku punya cara
sendiri. Bukan dari orang tua ku. Semenjak nenek dan kakekku tiada, aku belajar
sendiri. Tanteku sudah menikah. Kakak sepupuku juga akan ujian nasional. Jadi
sudah kuatur semua jadwalku sendiri. Who wanna care about me? How can I study?
About my feeling? No one care about it. Semua nilai bagus yang aku dapat karna
aku sendiri. Jangan Tanya soal kaila. Dia sudah pasti diawasi oleh ibuku, dan
bunga diawasi oleh budheku. Budheku sudah mengasuhnya sejak umur 4 bulan. Sudah
bisa dipastikan siapa yang menyayangi bunga. Sekali lagi jangan Tanya aku
disayang siapa, tentu saja bukan ayahku.
“jeni…” tante ku memanggilku
Aku menghampirinya “ada apa tante?”
“jeng jeng… tante belikan cake keju kesukaan jeni..”
kalo tante ku jangan Tanya, dia menyayangiku seperti anaknya sendiri. Walaupun
aku tahu ibu ku sering mengatainya pelit. Tapi aku tak peduli, tanteku sangat
baik padaku. Dia yang dulu membiayai les bahasa inggrisku hingga aku selancar
sekarang, mengalahkan teman-teman sekolahku.
“waaaah, terimakasih tante”
“mana ibu mu?” Tanya tante
“di kamar sama dek kaila”
“yaudah ya sayang, tante ke ibu kamu dulu” tante ku
sudah menikah selama 2 tahun tapi belum juga dikaruniai anak. Dan suaminya?
Stop asking me. Sangat sabar. Walopun tanteku seperti itu.
“belajar apa kamu jeni?” Tanya om ku
“matematika om..”
“sulit nggak?” Tanya omku meledek
“lumayan sih oom, besok juga ada ujian komputer sama
bahasa jawa”
“loh sudah UTS?”
“belom oom, baru ujian harian aja” aku masih melanjutkan
belajar
“loh siapa yang membantumu belajar?” Tanya oom ku
heran
“nggak ada lah oom, udah mau SMP kok masih belajar
sama ibu”
“lah yang tau bener ato salahnya?”
“ya kan dari buku paketnya ada oom”
Om ku membelai rambutku “anak pintar, pasti nilainya
bagus terus”
“Alhamdulillah bagus terus oom” aku tersenyum
Om ku merogoh sakunya, dan memberiku dua lembar uang
sepuluh ribuan. Seraya berkata “ini untuk keponakan oom yang pinter. Om harap
kamu terus pinter sampe nanti kuliah ya..”
Aku kaget dan rasanya ingin menangis “terimakasih
oom”
“jangan bilang tante kamu ya jeni..”
“siap oom” aku masih tersenyum. Sudah aku bilang,
pasti ada saja yang menyayangiku selain ortuku.
“sebentar lagi kamu mau masuk SMP, jeni mau sekolah
dimana?” Tanya om ku
“di sekolah negeri deket sini aja oom, insyaallah
kalau nilainya bagus”
“loh katanya tante, kamu didtawari yang didaerah
Surabaya? Itu juga bagus loh” ujar oomku. Ok beberapa hari yang lalu aku
ditawari guruku yang sekaligus tetaggaku, katanya kalo nilai UNAS ku bagus, aku
bisa masuk sekolah negeri didaerah Surabaya. Tapi ibuku melarangnya karna
alasannya jauh dari rumah. Saat itu aku hanya iya saja.
“ibu nggak ngebolehin om” ucapku datar sambil terus
menyelesaikan soal matematika
“mau di SMPN 1 deket rumah itu ta?”
“iya oom, kalo keterima” ucapku pasrah
“ya jangan pasrah gitu, harus semangat..” omku
tersenyum, ya aku tau siapa yang peduli sekarang.
Hari
ini, seperti biasanya aku berangkat dengan bunga. Adek tersayangku sejak aku
kecil. Hari ini ada ujian matematika. Aku sudah mempersiapkannya jauh hari.
Semoga saja soalnya mudah. Karna dari dulu aku tak bisa jika berhadapan dengan
matematika. Beda dengan IPS ato bahasa inggris. Ato seni melukis, seni suara,
dan seni menulis berbagai puisi, pidato, dan naskah drama. Sejak kelas 4 SD aku
sudah terkenal paling mahir dalam membuat naskah drama dan bernyanyi. Tapi ibu
selalu melarang semua yang aku suka karna alasan “itu dosa”. Iya aku menyadari itu. Tapi untuk yang lain kenapa
tidak memperbolehkankku?. Tapi untuk seni lukis dia membebaskanku. Karna
menurut dia hanya itu yang baik. Mungkin menurut kalian ini aneh. Tapi itulah
ibuku. Di dinding kamarku sudah ada 4 buah lukisan hasil karyaku. Aku bisa membuat lukisan yang menurut pelatihku bagus dan membuat
guru seni ku terpukau. Saat melukis aku hanya terpukai dengan warna hitam. Walau tintanya hanya hitam. Tapi memiliki arti jika
kita bisa menyelam jauh kedalam gambar itu.
Bulan
depan bakalan ada lomba drama antar kelas, mulai kelas 4-6. Seperti pada tahun
sebelumnya. Aku tidak diperbolehkan mengikuti. Hanya jadi juri saja. Terakhir
aku mengikuti lomba itu pada waktu kelas 5. Itu lomba kedua ku, yang
kumenangkan secara sempurna. Lomba diadakan 6 bulan sekali dengan waktu yang
acak. Selama aku mengikuti lomba belum ada juri dari kalangan siswa. Jadi
seluruh teman-temanku bangga padaku. Termasuk guru kelasku. Aku senang bermain
naskah, aku menekuninya karna aku senang bukan karna terpaksa. Jadi semua itu
akan berjalan alami. Ini kali kedua aku menjadi juri di turnamen ini. Aku sudah
punya cadangan selain aku di kelas ini. Dia juga tak kalah bagus. Aku pelatih
kelas ku sendiri. Tapi bukan berarti kelas lain tak bisa menang. Aku tetap
beerlaku adil untuk semua kelas.
“jeni..” baru saja aku angan dia sudah muncul. Dia
laila, sahabatku sejak kelas 3. Dia lah yang akan jadi wakilku menjadi penulis
naskah. Dia juga mahir. So perfect when she write about sadness. Dia juaranya.
“iyaa laila”
“kita akan buat tema baru, tema yang apik dengan
pemain yang sempurna. Apa lagi kamu adalah pelatih kita”
“laila aku bukan lagi pelatih inti”
“kenapa?” dia adak gusar, dan kecewa.
“karna jurinya sekarang ada 6, jadi satu juri
melatih 2-3 kelas”
“yaaaah jeniiiiii”
“that’s not my rule. If I’m make it I’ll change that..”
aku tertawa kecil. Tiba-tiba teman yang duduk didepanku datang dan memberikan
tawaran gila.
“jen, gimana kalo aku ikut tapi aku jadi sutradara?”
“woo, woo ahmad, sabar dulu. Aku sudah punya
kandidat untuk sutradara”
“heh lagian kalo elu ya mana cocok” laila meledek
ahmad
“klo gitu produser?”
“ahmad ini drama bukan film, aku hanya butuh
sutradara, penulis naskah, dan asisten sutradara yang mengatur dekorasi,
kostum, dan konsumsi” terangku
“aku nggak mau jadi asisten” ujar ahmad ngambek, dia
terlihat lucu kalo ngambek.
“aku bakal tunjuk joe sebagai sutradara. Aku tahu
dia sangat mahir, untuk asistennya aku belum tau karna itu bakal sulit, dan
penulis naskahnya laila. Tahun ini aku akan usung cerita sedih bersama laila”
“heh jen ingat jangan soal cinta” sahut radit. Dia
teman sebangku ahmad yang sama-sama usilnya, sama-sama jengkelinnya.
“I know, thanks for remembering me” ucapku sedikit
kesal
“tahun ini aku bakal jadi pemain terbaik di sekolah
ini” ucap radit sedikit ngayal. Dia bisa disebut “artis serba bisa” karna dia
bisa memainkan segalanya. Mulai dari senang, sedih, jatuh cinta, dan kelelahan.
Tapi salah satu mimic yang aku suka darinya saat berperan sebagai pemarah.
Walaupun suaranya agak serak tapi dalam dan tegas. Sangat berpotensi jadi actor antagonis terbaik tahun
ini, jika dia beruntung.
“aku sudah punya naskahnya” ujar laila tiba-tiba
“apa judulnya laila? Apa ada pemain protagonisnya?”
Tanya radit mengagetkan kami
“tentu ada tapi pemain antagonis akan sangat banyak
dialognya” ujar laila
“yaaah laila
kok gitu?” radit Nampak sangat sedih, sudah aku katakana dia yang
terbaik.
“radit kok gitu? Aku malah mau jadiin kamu peran
antagonis” kataku menyemangati radit
“kebetulan juga yang antagonis tuh cowok, jadi
kayanya lu cocok deh”
“kalian jahat banget” radit ngambek dengan mulut
bebeknya yang aneh itu lagi
“hahahaha” aku dan laila tertawa, ahmad tersenyum
kecil. Dia tahu sahabatnya akan marah.
“kenapa kalian marah!” bentak radit
“harusnya kamu nyadar dit, bentakan kamu barusan uda
menandakan kalo kamu cocok jadi peran antagonis” ujar ahmad
“benarkah?”
“iyakah dit” jawab laila
“baiklah aku mau jadi antagonisnya. Apa judulnya
laila?”
“judulnya, matahari tak mungkin terbit”
“kiamat la.an?” ledek ahmad
“bukaaaan” laila marah
“ya ceritain dong la..” aku berusaha meredam amarah
sobatku satu ini. Tapi belum laila meneruskan, datanglan dua berandal konyol
kelasku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar